Siapakah pendiri baitul hikmah? Kemudian bagaimana ilmu pengetahuan islam mulai berkembang di kota baghdad
Pada masa pemerintahan abu ja’far
al-Mansur, Khalifah kedua dinasti abbasiyah tahun 136 H, Pada masa itu baghdad
memiliki peranan sangat penting dalam kejayaan serta kemajuan peradaban umat
islam di seluruh dunia. Sejak saat itu Baghdad terus bertumbuh hingga menjadi
pusat peradaban dunia, setidaknya sampai dinasti abbasiyah runtuh.
Pada masa
kekhalifahan Harun al-Rasyid (w. 193 H/809 M) dan Al-Ma’mun (w. 218 H/833 M),
Baghdad mencapai puncak kejayaannya. Ia bertumbuh menjadi pusat ekonomi,
politik, pemerintahan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan yang tak tertandingi.
Hal itu membuat orang-orang dari seluruh penjuru negeri tertarik datang ke
Baghdad untuk mengadu nasib.
Seorang
Orientalis dan Islamolog ternama Philip K. Hitti menyebutkan bahwa pada saat
itu Baghdad merupakan kota intelektual. Bagaimana tidak, pada masa kekuasaan
Dinasti Abbasiyah –khususnya pada era Khalifah Harun al-Rasyid dan Al-Ma’mun,
ilmu pengetahuan berkembang pesat, aktivitas ilmiah bergeliat, dan
lembaga-lembaga pendidikan menjamur.
Salah satu yang menjadi simbol kemajuan
ilmu pengetahuan di Baghdad adalah Baitul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan). Sebuah
lembaga ilmu pengetahuan yang berhasil mencetak banyak pemikir dan intelektual Muslim
–yang bukan hanya ahli agama tapi juga
sains- abad pertengahan seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Al-Ghazali,
Al-Khawarizmi, Al-Battani, dan lainnya.
Disebutkan
bahwa Harun al-Rasyid lah yang menjadi inisiator pendirian Baitul Hikmah. Awalnya, dia memfungsikan
Baitul Hikmah sebagai sebuah perpustakaan pribadi. Lalu, Al-Ma’mun, putra Harun
al-Rasyid, memperluas fungsi Baitul Hikmah hingga menjadi sebuah lembaga
pendidikan formal dan pusat laboratorium.
Sementara
itu, dalam buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, Fernando Baez
menyebut pendiri Baitul Hikmah adalah Al-Ma’mun. Diceritakan suatu
ketika Al-Ma’mun bermimpi bertemu dengan seorang yang sudah tua dan berjenggot
putih. Orang tua tersebut menjelaskan nilai-nilai filsafat kepada Al-Ma’mun. Di
dalam mimpi, mereka berdiskusi tentang banyak hal, mulai dari iman, kebaikan,
hingga karya-karya klasik. Entah bagaimana, akhirnya Al-Ma’mun menyadari bahwa
orang tua itu adalah Aristoteles, yang memintanya untuk menerjemahkan seluruh
karyanya ke dalam bahasa Arab agar tidak hilang ditelan zaman.
Pada saat bangun, Al-Ma’mun
mengumpulkan para ahli nujum, ahli ilmu falak, dan kaum terpelajar lainnya
untuk membangun sebuah ‘lembaga ilmu pengetahuan’ yang kemudian diberi nama
Baitul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan). Al-Ma’mun
menunjuk Sahl bin Harun dan Said bin Harun sebagai penanggung jawab pembangunan
Baitul Hikmah.
Selain
dikenal sebagai perpustakaan yang menyimpan puluhan hingga ratusan buku, Baitul
Hikmah juga berfungsi sebagai pusat kajian akademis, observatorium,
laboratorium, dan biro penerjemahan. Ratusan bahkan ribuan naskah berbahasa
Yunani, Persia, Aramaik (Suriah), dan India dari berbagai disiplin ilmu
–seperti filsafat, sastra, matematika, musik, logika, astronomi, kedokteran,
dan lainnya- diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Ada beberapa nama ilmuwan yang ditugaskan
menjadi penerjemah di Baitul Hikmah, diantaranya Yahya bin Abi Mansur, Sabian
Sabit bin Qurra, Qusta bin Luqa, Yahya bin Abi Mansur, dan Hunayn bin
Ishaq.
Merujuk buku History of The Arab,
Hunayn bin Ishaq didaulat menjadi ketua penerjemah di Baitul Hikmah. Ia adalah
seorang penganut sekte Ibadi, yakni pemeluk Kristen Nestor dan Hirah. Oleh Ibnu
al-Ibri dan al-Qifthi, Hunayn bin Ishaq dinilai sebagai sumber ilmu pengetahuan
dan tambang kebajikan karena kecerdasan dan wawasan pengetahuannya yang luas.
Era
penerjemahan naskah-naskah dari berbagai peradaban itu ke dalam bahasa Arab
diikuti juga dengan era penulisan karya-karya orisinal. Seperti kitab al-Qanun karya
Ibnu Sina (Kedokteran), al-Kawakib al-Tsabitah karya Abd al-Rahman al-Shufi (Astronomi), al-Zi’baq
al-Syarqi karya Jabir (Kimia), Surah al-Ardh karya
al-Khawarizmi (Geografi), dan lain sebagainya. Karya-karya sarjana Muslim itu
memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
setelahnya.
Namun
sayang, kejayaan Baitul Hikmah hanya bertahan kurang lebih lima abad. Pada
1257, bangsa Mongol dibawah komando Hulagu Khan menyerbu Baghdad. Lebih
dari 500 ribu mayat bergelimangan di jalanan. Al-Musta’shim Billah, khalifah
terakhir Dinasti Abbasiyah, juga tewas setelah dipukuli ramai-ramai.
Baghdad hancur, Baitul Hikmah juga lebur. Pasukan
Hulagu Khan membuang naskah-naskah yang ada di perpustakaan ke muara Sungai
Tigris sehingga tintanya bercampur dengan darah. Dan sebagian naskah yang
lainnya dibakar habis.
Penulis: A Muchlishon Rochmat
Sumber: NU Online